Monday 11 July 2016

Mizutama Honey Boy : Renungan Komik Gender-Bender yang Matang

komik yang saya review bisa dibaca di sini


Hello, long time no see! Sudah lebih dari 3 tahun yang lalu saya belum mengupdate review manga/manhwa dan manhua ini. Itu karena selama tiga tahun ini saya belum menemukan manga yang bisa membuat saya berkontemplasi begitu dalam seperti manga lain yang sudah saya review sebelumnya.
Saya sudah sering mengulangi membaca manga dari Junko Ike ini, karena ceritanya begitu natural, alamiah seperti melihat tokoh-tokohnya menjadi teman saya. Satu-satunya absurditas dalam manga ini adalah sifat telmi Nanao yang kelihatannya keterlaluan (tapi memang ada orang yang parah kaya gini..mungkin).
Manga ini menceritakan perjuangan Fuji Shirou yang berusaha menggapai cinta Sengoku Mei. Problem utama dari cerita ini sederhana, yaitu Sengoku Mei adalah gadis kaku yang hidup dengan prinsip-prinsip seorang bushi, yang tidak memahami apa itu cinta. Kebalikan dari Mei, Shirou adalah lelaki yang dibesarkan dengan prinsip feminitas oleh ibunya. Ia adalah lelaki yang lembut, suka memperhatikan keadaan orang lain, bawel dan pandai dalam segala hal yang bersifat kewanitaan (walau pada episode-episod selanjutnya diceritakan bahwa Shirou kalah dalam segala hal tersebut bila dibandingkan dengan Ichika, kakak tertuanya yang merupakan mantan ketua Klub Pendidikan Rumah Tangga di sekolahnya).
Okey, saya akan menjelaskan mengapa saya membuat judul dengan embel-embel kata matang untuk manga ini. Plot dan tokoh yang terkesan tidak dibuat-buat adalah faktor utama saya merasa nyaman dengan komik ini. Berbeda dengan komik gender-bender lain yang terlalu dipaksakan untuk mengandalkan sisi komedinya, Mizutama Honey Boy, walau judulnya cukup alay kalau dibahasa-Indonesiakan (Cowok Semanis Bulir Madu, kaya judul FTV saja :p ), ternyata penuh dengan kontemplasi dan sindiran terhadap karya gender-bender lain, yang kadang dipenuhi fantasi pseudo-yaoi.  Contoh utama fantasi pseudo-yaoi mungkin paling kentara adalah hubungan sesama teman dalam Otomen (maaf para penggila Otomen, saya sangat suka serial ini juga, tapi..), dimana banyak sekali fan-service lelaki memeluk lelaki lain sengaja dibaurkan dalam adegan-adegan penuh kesalahpahaman (seperti adegan Asuka dipeluk Juuta dalam banyak bab). Di serial ini diceritakan ‘pasangan’ pseudo-yaoi yang paling mungkin dikhayalkan oleh para fujoshi adalah Fuji Shirou X Nanao Manabu (yang juga kakak kelas dan mantan kapten kendo Shirou dan Mei, yang juga mencintai Mei). Ike-sensei sang pengarang tanpa tedeng aling-aling langsung memasangkan dua cowok ganteng ini pada bab awal konflik terjadi antara keduanya, ketika Manabu yang super oon (tapi ganteng, tinggi dan kuat—tipikal cowok sempurna dalam komik shojo), membuat blunder akan memacari Shirou bila dia kalah adu pedang dengan Mei (tapi akhirnya Manabu malah kalah adu argument dengan Shirou yang bawel). Akhirnya, dalam kesepakatan sepihak itu, Manabu setuju memacari Shirou, melindunginya (seperti membopong Shirou ketika dia jatuh dari pohon, walau itu taktik liciknya agar Shirou tidak dekat-dekat lagi dengan Mei) dan melakukan apapun yang pacar lakukan kepada pasangannya. Ia bahkan dengan jantan mengakui Shirou sebagai pacarnya ketika Ayah Shirou datang (yang menyangka Shirou adalah tipikal cowok feminine, yang juga dianggap pasti suka sesama jenis), dan membuat ayah Shirou shock.
Saya sengaja menjabarkan secara detail adegan-adegan sindiran tersebut. Kalau kita lihat dari peta perkomikan shojo (istilahnya lebay), kita pasti tahu ada dua grup mayoritas dalam dunia mangaka shojo, yang lainnya minoritas, Dua grup itu adalah mangaka yang sengaja mengarang komik yaoi dan mangaka yang menampilkan banyak fan service pseudo-yaoi di komik bergenre non yaoi.
Yaoi dikenal juga sebagai komik homo eksplisit yang dibuat oleh mangaka perempuan dan elemen fantasinya (terutama plotnya yang khayal)  sangatlah bergaya perempuan Jepang. Kalau mau menganalisis lebih dalam lagi, bisa saya katakan bahwa kecenderungan budaya erotisisme homoseksual dalam karya yang dibuat oleh wanita adalah doktrin kuno yang sudah ada sejak Murasaki Shikibu menulis Tale of Genji, bahkan ada sejak jaman Heian, setelah kebudayaan dan agama baru diimpor dari China. Jadi wanita Jepang jaman dulu (sebelum era restorasi Meiji) terbiasa mendengar cerita tentang keheroikan dan cinta sejati Mori Ranmaru terhadap Oda Nobunaga dan pengkhianatan Mitsuhide yang dibayang-bayangi kecemburuan romantic (seksual) terhadap Ranmaru, atau cinta sejati antara Takeda Shingen dan Kosaka Masanobu yang abadi. Wanita-wanita ini lalu membuat cerita homoseksual sebagai pelampiasan drive seksual, karena tak jarang mereka yang hidup terpisah dari lelaki Jepang merasa kesepian. Kalau ingin membaca sejarahnya, bisa gugling saja atau coba chat dengan fujoshi. Mereka akan memberi lebih banyak info tentang sejarah mengapa wanita Jepang ‘dipaksa’ secara cultural untuk berfantasi layaknya komik yaoi. Inilah yang membuat saya kagum dengan komik ini, yang sepertinya bisa lepas dari fan service berlebihan dan tetap menyajikan apa yang mungkin terjadi dalam kenyataan di masa kini, dimana wakashudo bukan menjadi hubungan cinta ideal lagi.
Kembali pada perbandingan Mizutama Honey Boy (MHB) dan komik shojo gender-bender lain, MHB juga mengunggulkan cinta tanpa batas, dimana dalam beberapa scene-nya, Shirou mengatakan akan menunjukkan pada Mei bahwa dia akan memenangkan hati Mei tanpa berpura-pura menjadi sok jantan atau memalsukan jati dirinya sebagai lelaki feminine. Adegan di mana Shirou menampar Manabu dengan gaya melambai, adalah salah satu cara sang pengarang membuat pembaca paham betapa femininnya Shirou. Ditambah lagi dia tidak malu mengakui dirinya feminin. Hal ini juga sindiran kepada banyak pengarang lain yang seperti sering membuat situasi dalam cerita dimana si tokoh harus feminine atau maskulin karena terpaksa. Shirou secara sadar mengatakan bahwa menjadi feminine atau maskulin adalah pilihannya. Ia memilih menjadi anak yang disayangi oleh ibunya yang menyukai segala sesuatu yang cute dan menjalankan kewajibannya sebagai anak, bahkan secara terbuka menganggap dirinya sebagai anak perempuan ibunya. Namun pada saat yang sama, dia juga berharap ayahnya menganggap dirinya adalah anak lelakinya, walaupun sifat dan perilakunya feminine.
Banyak lagi kematangan yang ditunjukkan sang pengarang dalam membentuk karakter Shirou di sini dan agak sulit menjelaskannya secara tepat.
Kematangan ini bisa dilandasi oleh dua alasan. Pertama, komik gender-bender yang menyajikan banyak situasi (dan khayalan berlebihan dalam fantasinya) sudah banyak. Otomen mungkin adalah contoh paling popular, sehingga mangaka serial ini (yang satu penerbit dengan Otomen) bisa mereview dulu apa-apa bisa dimasukkan dalam manganya dan apa yang bukan menjadi gaya sang pengarang.  Alasan kedua adalah kesadaran Ike Junko-sensei terhadap kemampuan menggambarnya yang lebih kepada gaya cute dan kawai dan lemah di dalam menggambar ikemen dan bishonen (saya bahkan menganggap Nanao Manabu itu termasuk ga ganteng, tapi setelah ada narasi bahwa gadis-gadis di sekitar Mei bilang dia ganteng dan popular, saya jadi tahu bahwa dalam dunia MHB, Manabu termasuk ikemen). Gaya cute ini dijabarkan sendiri dalam kolom curhatan sang mangaka yang diberi waktu seminggu oleh sang editor untuk menggambar tokoh ikemen dan Ike Junko mengakui bahwa dia bingung apa criteria yang membuat seorang tokoh tampak seperti ikemen. Namun justru gaya gambar inilah yang membuat komik ini terkesan santai dan enak dibaca. Dan kelihatannya, gaya komedi tanpa fan service ini adalah juga karena cowok di MHB tidak kelihatan seperti ikemen. 

Well, then, bye!